Menyusun perencanaan keuangan
Minggu lalu ada temen yang nanyain lewat twitter, mana sih yang harus didahulukan: dana darurat atau asuransi? Jawaban saya, dana darurat dulu, at least sampe 30%-50% dari level yang seharusnya.
Kenapa begitu? Karena jangan sampai begitu kita udah beli polis asuransi tiba-tiba ada kejadian darurat dan kita ngga punya uang cash untuk membayar. Ngga lucu kan kalo harus sampe ngutang?!
Prioritas dalam perencanaan keuangan
Oke, so gimana sebaiknya kita menyusun prioritas dalam perencanaan keuangan? Berikut sedikit masukan mengenai urutan penyusunan prioritas perencanaan keuangan beserta tips nya yang diambil dari beberapa sumber (terutama dari AFC Financial Checkup), dimulai dari awal sampai dengan tahap memulai investasi.
#1 Lunasi hutang konsumtif
Yup, ini dulu langkah awalnya. Apa aja yg termasuk dlm hutang konsumtif? Semua yang ngga menghasilkan return bagi kita ataupun nilai tambah dalam hidup kita. Contoh jelas adalah hutang kartu kredit (pembayaran minimum), kredit tanpa agunan, dan hutang lain yg berbunga tinggi tapi ngga menghasilkan.
Kalo KPR? Ini masuk kategori produktif karena walopun ngga menghasilkan namun nilainya selalu naik di masa depan. Kalo hutang mobil? Selama itu memang benar-benar dibutuhkan dan terbukti menambah kualitas hidup kita, bisa aja kita keluarkan dari kategori hutang konsumtif (nanti ya kita bahas lebih lanjut).
#2 Pastikan casf flow positif
Gimana mo mulai berinvestasi kalo cashflow keluarga selalu minus setiap bulan? Bahkan untuk membiayai kebutuhan kita aja masih kurang. So, susun dulu pemasukan dan pengeluaran keluarga dgn baik, siapa tau ada biaya-biaya yang masih bisa kita kurangi.
Dengan cashflow positif, kita akan dengan mudah mengetahui kemampuan kita utk berinvestasi. Cashflow yang teratur ini juga akan ngebantu kita untuk tau dengan pasti berapa perlindungan asuransi jiwa yang kita butuhkan.
#3 Dana Darurat
Jika 2 langkah di atas udah dipenuhi, baru kita masuk ke dana darurat, yang dimaksudkan untuk mengcover semua kebutuhan mendadak or sebagai bemper jika tiba-tiba pencari nafkah keluarga kehilangan pekerjaannya.
Berapa jumlah idealnya? Standar lah, kayak yang udah sering ditulis di mana-mana: untuk single antara 1-3x pendapatan/biaya bulanan, berkeluarga dgn 1 anak berkisar antara3-6x, berkeluarga dgn 2 anak antara 9-12x, dan seterusnya. Sebaiknya dana ini sudah terkumpul sesuai target sebelum membali polis asuransi ataupun berinvestasi.
Namun jika berat, bisa dimulaidengan menyiapkan 30%-50% dari target dan kemudian pelan-pelan dicicil sampai ke level yang sesuai berbarengan dengan investasi rutin. Risikonya: keasikan investsi sampe lupa nyicil dana darurat yang belum optimal.
#4 Asuransi
Apalagi yg penting setelah dana darurat terpenuhi? Tentu saja proteksi atas penghasilan keluarga jika pencari nafkah meninggal dunia atau mengalami cacat permanen. Gimana cara menghitung jumlah proteksi dan produk asuransi apa aja yang harus diambil? Bisa disimak di tulisan saya yang lain di blog ini dalam kategori Insurance.
#5 Investasi sesuai tujuan
Setelah semua langkah di atas dilakukan, barulah kita masuk ke bagian terakhir yang merupakan cara untuk mencapai tujuan di masa depan, seperti dana pendidikan anak dan dana pensiun. Lakukan aja secara rutin dengan mengalokasikan pendapatan rutin kita.
Lho jadinya porsi investasinya dikit dong, karena diambil dari sisa pendapatan rutin? Ya ngga lah, itung juga berapa kebutuhan investasi rutin ini dengan disesuaikan terhadap tujuan dan instrumen yang akan kita pakai. Kalo memang kurang, ganti instrumen investasi ke yang lebih agresif atau lakukan penghematan di pos-pos biaya bulanan.
So jangan salah, pos ini bukan cuma digunakan utk jadi penampung sisa gaji lho ya. Malah sebaliknya, belanjakan penghasilan kita ke produk investasi sebelum kita berbelanja untuk diri kita sendiri.
=====
Setelah semua langkah tersebut bisa dijalanin, baru deh dibikin review rutin terhadap semua hal di atas. Pastikan semua cashflow terkontrol degan baik dan hasil investasi udah sesuai dengan target yang kita inginkan.
Selamat menyusun perencanaan keuangan.
Image: affordable-health-cures.com
Pak JP, mohon maaf mau komentar meski tidak sesuai judul Tulisan Bapak.
Apakah bapak pernah baca-baca di blog ataupun situs alternatif berikut :
1. http://pohonbodhi.blogspot.com/
2. http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/
3. http://www.zerohedge.com/
4. http://sgtreport.com/
Yang lain masih banyak sih. trims ya pak.
Salam Mas JP,
Bagus tulisannya. Saya punya pendapat lain tentang urutan antara dana darurat dan asuransi, yaitu bahwa keduanya sebaiknya dilakukan bersamaan. Mengambil asuransi tidak harus mengganggu pengumpulan dana darurat, yaitu dengan mengambil asuransi yang bisa dibayar secara bulanan. Cara ini cocok untuk mereka yang mengatur keuangannya secara bulanan, karena gajinya juga bulanan.
Jika asuransinya harus bayar tahunan, misalnya 5 juta atau 7 juta sekaligus, alokasi untuk persiapan dana darurat dan lain-lain memang bisa terhambat.
Saya kira itu poinnya.
Terima kasih.
Salam,
Asep Sopyan
myallisya@gmail.com
Salam juga Mas Asep, thanks lho untuk komennya. Gpp kok mas kalo beda pendapat, justru itu yang penting dalam diskusi.
Saya jawabnya pake sharing cerita nyata aja deh, karna kebetulan saya pernah punya pengalaman ttg ini. Tahun lalu ada temen saya (sebut aja A) yang sempet bermasalah dengan strategi DD dan asuransi jalan bareng. Kebetulan A baru punya anak, dan kelebihan penghasilannya adlh 1 juta/bln. Dari 1jt itu, 500rb utk ditabung dan 500rb lagi utk bayar premi asuransi (udah jalan 1 tahun). Masalahnya tabungannya masih teralu kecil, ngga nyampe 1 bulan biaya rutin. Suatu ketika orangtuanya (di bandung sakit) dan dalam perjalanan ke bandung mobilnya mogok di tol cipularang. Biaya derek ternyata mahal banget, dan setelah ditambah ongkos bengkel total abis sekitar 2 juta. Belum lagi dia harus nambahin sejumlah uang untuk perawatan ortunya. Akhirnya karena tabungannya ngga mencukupi, dia memutuskan untuk meminjam kpd saya sebesar 2juta dan akan dilunasi dalam 6 bulan. Alesannya karna cashflow nya tipis dan setiap bulan harus membayar premi asuransi (tuh, asuransi malah disalahin, hehehe).
Masalahnya apa disini? Si A sama sekali tidak memiliki dana cadangan yang cukup untuk kebutuhan darurat karena ada kewajiban lain termasuk asuransi yang harus dibayarkan tiap bulan. Ada alternatif cuti premi sih katanya, namun saya lupa kenapa akhirnya dia ngga ngambil altenatif itu atau mungkin merasa bahwa toh di di masa depan dia harus tetep punya kewajiban utk bayar lagi secara rutin. Kalo ngga ada keharusan bayar asuransi, at least dia bisa ngelunasin utangnya lebih cepat.
Akhirnya setelah kami berdiskusi, dia memutuskan untuk menutup polis asuransinya dan mengambil dana tunai yg ada (saat itu kecil sekali karena baru 1 thn) dan digunakan untuk menambah dana darurat dia. Kemudian dgn memanfaatkan bonus dan THR dan beberapa penghematan, akhirnya sebagian DD bisa terkumpul dan utang lunas dalam waktu lumayan singkat. Setelah itu sisa dananya dipakai untuk beli asuransi.
Jadi mas kalo menurut saya, sebaiknya kita fokus untuk mengumpulkan tujuan satu persatu, dengan tujuan agar hasilnya lebih maksimal. Bisa aja dilakukan dengan mengumpulkan DD berbarengan dengan asuransi, namun risikonya seperti yang saya ceritakan di atas. Tambahan lagi, belum tentu coverage UP yg kita dapet akan maksimal sesuai kebutuhan. Si A akhirnya membeli asuransi di M**l**e (ProAct***P**s) dgn premi 3.25juta/thn dgn UP 1.25 Milyar (sekitar itu, lupa pastinya). Secara perlindungan jauuuh lebih besar dari asuransi sebelumnya dan, walaupun dibayar tahunan, biaya preminya jauh lebih rendah dibanding premi asuransi sebelumnya yang dibayar bulanan. Emang ada risiko krn ada periode dimana si A ngga tercover asuransi, namun agar perencanaan keuangan keluarga bisa maksimal, dia harus memilih berdasarkan prioritas, dengan jangka waktu yg udah diperkirakan. Solusi akan lebih baik jika menyeluruh dan berjangka panjang, ngga hanya bersifat tambal sulam dan sekedar “yg penting ada”.
Demikian sharing saya, semoga bermanfaat.
Oiya, nambahin dikit ttg cara pembayaran premi. Menurut saya pribadi sih ngga ada masalah dengan pembayaran bulanan or tahunan. Selama cashflow diatur dengan bener, ini sama sekali bukan issue kok. Tinggal ditotal aja dan pilih mana yang lebih murah dengan hasil paling maksimal. Gampang!! Kayak kita beli elektronik aja, kalo utk barang yg sama namun kita bisa milih mo beli cash atau cicilan 12 bln tanpa bunga, ya milih nyicil lah yaw, hehehe. Tapi kalo beli cash itungannya jauh lebih murah dan barangnya lebih bagus, ya harus bikin alokasi utk membeli secara cash.
Ya, secara prinsip saya setuju DD didahulukan dari asuransi. Tapi ya itu, karena kondisi tiap orang berbeda-beda, maka pelaksanaannya bisa berbeda pula. Cerita bung JP kebetulan alurnya seperti itu. Saya tidak punya contoh dari pengalaman nyata untuk pembandingnya, tapi secara rasional bisa dinalar bahwa adanya “masa tanpa asuransi” selama mengumpulkan DD potensinya bisa lebih berbahaya.
Dari pengalaman saya sendiri, saya membayar asuransi secara bulanan. Memang jatuhnya lebih mahal. Tapi dengan cara itu, saya jadi punya sisa uang kas yg bisa saya putar dahulu di investasi saya (saham). Dari situ, saya bisa mendapatkan retur sekitar 10% per bulan, dan itu cukup seandainya saya gunakan untuk bayar premi tiap bulannya (tapi saya tetap bayar premi dari penghasilan lain).
Memang kondisi tiap orang berbeda. Kebetulan saya telah kenal investasi, maka bagi saya uang di tangan berapa pun itu jauh lebih berharga ketimbang saya serahkan seluruhnya sekaligus ke perusahaan asuransi.
Demikian,
Salam,
Asep S
Yup, setuju banget mas asep. Apalagi kebanyakan orang kan masih blom melek investasi, apalagi saham. Kalo udah piawai investasi mah istilah Cash is King masih tetap berlaku, apalagi bisa ngasilin 10% per bulan kayak mas asep (120% per tahun? Boleh lah bagi2 ilmunya mas, jadi ngiler juga, hehehe).
Nah, bagi yg orang yg masih awam, akan lebih aman utk menginvestasikan kelebihan uangnya di instrumen2 yg sesuai dgn risk profilenya masing2. Kalo pun ngga mau invest, dari sudut pandang lain, dengan bayar sekaligus di awal kan seolah2 sama dengan memanfaatkan diskon, bayar lebih cepat diskon 50%. Sama kayak orang jualan aja, mendingan bayar supplier lebih cepat biar dapet diskon yg lebih gede daripada duit diputerin tapi returnnya ga seberapa.
Lagian kan ini asumsinya orang belum punya tabungan sama sekali. Pada kenyataannya, kebanyakan orang udah punya “simpanan” tp pengalokasiannya yg masih ngga maksimal. Dalam kondisi ini, pemabayaran premi per tahun ngga akan jd masalah, asal jatohnya bisa jauh lebih murah. Bulan2 berikutnya cash flow bulanannya ngga akan terganggu lagi oleh keharusan bayar premi, dan cash bener2 jadi king utk mereka 😉
Salam,
Ngomong2 soal Cash Is King, saya jadi terinspirasi nulis ttg itu dan penerapannya di asuransi. Mohon izin sharingnya lewat link ini aja: http://myallisya.wordpress.com/2012/04/04/cash-is-king-contoh-penerapan-di-asuransi/
Makasih.
Salam,
Asep S
Nice posting Mas Asep. Alternatif yang menarik. Namun sedikit sharing tambahan, biar perbandingannya apple to apple, premi asuransi saya jika hanya menghitung UP jiwa dan kecelakaan + cacat tetap (seperti dlm ilustrasi Tapro), premi saya pertahun cuma Rp 3.19juta lho mas, kurang dari separonya premi Tapro. Kalo harus bayar bulanan, ada selisih Rp 2.75juta yg bisa saya puterin, tapi saya kebetulan bukan tipe agresif dan kreatif utk melipatgandakan uang dalam 1 tahun, hehehe. So pilihan membayar tahunan untuk kasus saya masih merupakan opsi terbaik, dengan memanfaatkan porsi gaji bulanan untuk diinvestasikan secara rutin (dgn produk seperti reksadana) untuk tujuan jangka panjang yg lain.
Untuk temen2 yang punya kemampuan untuk berbisnis atau berinvestasi dengan baik dan agresif, contoh mas asep ini bisa dijadikan pilihan dengan tetep memperhatikan sisi risiko. High risk high return, so it must be well managed. Untuk yg saat ini masih belum memiliki cukup cash, bisa jg memanfaatkan cara ini untuk mengcover periode tanpa asuransi.
Btw ini kok jadi ngomongin asuransi yah disini? 🙂 Untuk yang mo komen lagi, mohon sesuai dengan topiknya yah teman-teman…