Mengatur Uang Gaya Formasi Sepakbola

Artikel Intisari Online

Hasil dari liat-liat inbox email, tiba-tiba menemukan satu file lama yang menarik. Email dari seorang wartawan Intisari (grup Kompas), berisi materi publikasi dari hasil meng-interview saya, hehehe… Judulnya terkesan cowok banget, mengatur uang gaya formasi sepakbola.

perencanaan keuangan keluarga

Sudah lumayan lama sih sebenarnya, sepertinya di pertengahan tahun 2013. Dasar dari artikel ini juga saya ambil dari kultwit (jaman itu masih ngetred) dengan tema yang sama, yang terangkum dalam artikel komposisi ideal anggaran rumah tangga.

Intinya membahas tentang bagaimana mengatur anggaran rumah tangga kita dengan melalukan pembagian pendapatan ke dalam 3 kelompok besar:

  1. Biaya hidup: 40%
  2. Cicilan hutang: 30%
  3. Tabungan & investasi: 30%

Ini bukan berlaku absolut ya, cuma sekedar pakem untuk dijadikan pertimbangan.

Ini terinspirasi dari formasi nya FC Barcelona, yang memang sedang jago-jagonya waktu itu (sampe sekarang): 4-3-3. Ada 4 orang pemain belakang, 3 orang pemain tengah yang berfungsi sebagai penyeimbang lini depan dan lini belakang, serta 3 orang penyerang untuk mencetak gol.

Waktu itu sih filosofinya: kita menggunakan 40% penghasilan untuk bertahan hidup (pemain belakang), 30% dalam bentuk investasi sebagai alat untuk mencapai tujuan (penyerang), serta 30% maksimal dalam bentuk cicilan untuk menjadi pengungkit (pemain tengah) dalam mencapai tujuan. Keren kan? Padahal ngarang, hehehe…

Berikut artikel lengkapnya.

 

Mengatur Uang Gaya Formasi Sepakbola

 

Penulis: Elvy Yusanti (Intisari-online), Ilustrator: Hendra Kurniawan.

Mengelola keuangan keluarga susah-susah gampang. Agar tidak kebablasan dan terjerat utang, hindari besar pasak daripada tiang.

Jangan pernah menganggap sepele soal perencanaan keuangan keluarga. Dengan gaya hidup yang berkembang saat ini, salah mengatur keuangan bisa-bisa menjadi bara dalam rumahtangga. Menurut perencana keuangan Tofan Saban, prinsip dasar yang harus dimiliki pasangan suami-istri dalam mengelola keuangan adalah komunikasi dan keterbukaan.

“Bahkan, sebelum memutuskan menikah, dalam hal mengelola keuangan, mereka harus bisa mengelola pasangannya masing-masing,” kata Tofan.

Merencanakan keuangan tergantung pada mindset suami/istri. Persoalannya bukan seberapa besar penghasilan setiap bulan, tetapi bagaimana bisa bekerja sama dan sepakat dengan prinsip pengelolaan yang tentu saja berbeda untuk masing-masing keluarga.

Pasangan Charles Maruli Siahaan (42 tahun), dan Orantje (37) yang dikaruniai empat anakpunya kiat tersendiri untuk mengelola penghasilan yang menurut mereka tidak begitu besar.

“Prinsipnya, setiap bulan kami selalu menyisihkan dana dari penghasilan saya yang tidak terlalu besar untuk tabungan,” kata Charles yang bekerja di sebuah perusahaan media di Jakarta.

Dengan tanggungan emapt anak yang semuanya masih bersekolah di TK dan SD, pasangan yang menikah tahun 2001 ini harus pandai-pandai menyiasati pengeluaran. Terlebih, Orantje memutuskan untuk tidak bekerja setelah memiliki anak.

Setelah menerima gaji, mereka langusng menyisihkan dana untuk pengeluaran rutin sepeti belanja kebutuhan pokok, membayar tagihan listrik, sekolah anak, dan rekreasi. “Dari seluruh pengeluaran itu, kami menyisihkan 20% untuk ditabung. Setelah dana di tabungan terkumpul, kami memindahkan ke instrument investasi,” kata Charles.

Saat ini, Charles menempatkan dananya di deposito dan unit-link bank pemerintah yang diperuntukkan bagi persiapan pendidikan anak-anaknya. “Tapi dana tabungan tetap kami sisakan untuk keperluan mendadak seperti biaya berobat atau kebutuhan lainnya,” tambahnya.

Keluarga ini berprinsip, sejak awal selalu melakukan perencanaan keuangan dengan saksama karena menyadari penghasilan tidak terlalu besar. Dan prinsip penghematan ini yang selalu kompak dilakukan semua anggota.

“Kalau memang ada barang yang tidak perlu dibeli ya jangan dibeli. Tapi kami masih bisa menikmati makan bersama. Hemat kan bukan berarti mengabaikan kebahagiaan istri dan anak,” papar Charles.

 

Formasi 4-3-3

“Dengan komunikasi dan mengenali gaya masing-masing pasangan, prinsip besar pasak daripada tiang bisa dihindari,” kata Tofan. Prinsip lainnya adalah kenali diri, berapa penghasilan dan pengeluaran rutin yang dibutuhkan. Semuanya itu harus dijalankan secara tegas dan rasional.

Yang tidak rasional adalah, kata Tofan, ketika keinginan dalam bentuk kebutuhan misalnya memiliki kendaraan atau menyekolahkan anak ke sekolah favorit yang biayanya sangat mahal tetap dilakukan meskipun kondisi keuangan tidak siap.

“Saya menemukan kasus pasangan suami-istri dengan penghasilan pas-pasan menyekolahkan anaknya di sekolah yang biayanya sangat mahal. Akibatnya cashflow keuangan mereka berantakan,” tambah Tofan lagi.

Prinsip dalam formasi permainan sepakbola 4-3-3 saat ini menjadi rujukan pengelolaan keuangan untuk keluarga Indonesia. Dengan perincian 40% penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari, 30% untuk membayar cicilan atau utang, dan 30% untuk tabungan dan investasi. Ini dianggap cukup ideal.

“Besarnya pengeluaran rutin 40% itu untuk standar normal dan sudah termasuk biaya lifestyle seperti makan bersama di mal atau rekreasi.

Formasi ini sebetulnya bisa berubah, misalnya saja 30% untuk tabungan bisa bertambah karena ada tambahan pemasukan atau berkurangnya tingkat utang dan penurunan standar gaya hidup,” kata Tofan.

Berbeda dengan pos pengeluaran rutin dan investasi yang besarnya lebih fleksibel sesuai kebutuhan, pos cicilan utang sebesar 30% dari anggaran rutin merupakan plafon maksimum dalam keuangan keluarga. Tofan menambahkan, prinsip pengelolaan keuangan harus realistis dan pasangan suami-istri harus rela menurunkan ekspektasi kebutuhan jika memang tidak mampu.

Besar-kecilnya penghasilan pada akhirnya tidak menjadi patokan bagaimana sebuah keluarga tercukupi kebutuhannya. Double income atau single income, menurut Tofan, bukan menjadi ukuran sebuah keluarga bebas dari masalah keuangan. Sebesar apa pun penghasilan kalau salah dalam melakukan pengelolaan dan tidak tereksplor dengan baik akan menghasilkan cashflow yang tidak seimbang.

Belajar sejak pacaran

Bagi pasangan muda yang baru menikah, pengetahuan dasar pengelolaan keuangan keluarga sangat penting. Saat melewati masa pacaran, kebiasaan hura-hura sedikit demi sedikit harus mulai dihilangkan. Perlu disadari, kehidupan sesungguhnya adalah setelah menjalani pernikahan, memiliki anak, dan memenuhi kebutuhan mereka sampai dewasa.

Inflasi yang meningkat setiap tahun, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan makin mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan harus menjadi pertimbangan semua pasangan dalam mengelola keuangan secara benar. Belum lagi gaya hidup yang bisa memancing membengkaknya pengeluaran.

Tofan mengatakan, kesadaran tentang perencanaan keuangan sudah harus dimulai saat pacaran. “Sebelum memasuki gerbang pernikahan, ada baiknya calon suami-istri belajar perencanaan keuangan,” katanya. Alasannya, mindset pasangan suami-istri ketika masih pacaran tidak selalu sama, bahkan banyak yang sama sekali berbeda.

“Ada tipe laki-laki yang senang menabung, namun wanitanya senang berbelanja, atau sebaliknya. Ini harus diluruskan sejak sebelum menikah. Harus ada kesepakatan dan komitmen yang kuat,” ungkapnya.

Dikatakan Tofan, gaya mengelola keuangan yang berbeda bisa menimbulkan konflik. SIfat boros, hura-hura, dan memandang keinginan melebihi kemampuan hanya karena gengsi juga ikut andil dalam kesalahan pengelolaan keuangan. Pasangan suami-istri harus pandai-pandai menyiasati.

Semisal, mengubah cara melewatkan weekend bersama keluarga. Tidak harus ke mal, atau lokasi rekreasi yang mahal setiap minggu yang membutuhkan dana tidak sedikit. Berolahraga bersama, bersilaturahmi ke saudara atau melewatkan hari libur di rumah dengan memasak bersama menjadi salah satu alternative penghematan.

======

Semoga berguna.

Terima kasih.

 

Image: http://www.drdavidgeier.com

Leave a Reply